BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi
perikanan pelagis dan demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut
Indonesia seperti pada perairan laut teritorial, nusantara, dan Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia di perkirakan sebesar 5,8 juta km2
dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Canada, yaitu
81.000 km² dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.808 buah pulau.
Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah banyak
mengalami peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat
memberikan kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian
dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia (Dahuri, 2001).
Selanjutnya dikemukakan oleh Dahuri (2001), sumberdaya
perikanan merupakan milik bersama (Common
resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara
perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan
akibatnya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar
nelayan dengan nelayan, nelayan dengan pengusaha, pengusaha dengan pengusaha.
Salah satu produksi ikan yang memiliki nilai ekonomi yang
tinggi yaitu ikan tuna. Perikanan tuna di Indonesia menunjang sekitar 1,67%
dari total produksi ikan laut Indonesia dalam periode 1971-1981, kegiatan ini
telah berkembang terutama diperairan Indonesia bagian timur (Suhendra dan
Subani, 1988 dalam Titihalawa, 2001).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989),
ikan kaleng merupakan salah satu produk hasil pengawetan dan pengolahan yang
telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng. Proses pengalengan ikan umumnya
dilakukan oleh perusahaan besar, disamping beberapa home industri.
Standar mutu produk pangan (makanan) dan pertanian telah
banyak dikeluarkan, meskipun belum semuanya diterapkan dalam dunia perdagangan.
Beberapa indikator mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolak ukur, dan
faktor mutu. Sementara persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan,
keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar terpisah
(Rahman, 2007).
Untuk menjaga keamanan pangan dari produsen pangan
diantaranya dengan menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).
HACCP adalah merupakan sistem yang dapat menjamin keamanan pangan, sistem ini
bekerja secara proaktif, yaitu mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik
pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada
pengujian produk akhir (Rahman, 2007).
Menurut Winarno dan Surono (2004), Sistem HACCP telah
diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu tindakan sistematis yang
mampu memastikan keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan
secara global. Agar sistem ini dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu
diawali dengan pemenuhan program pre-reguisite,
yang berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan
kegiatan llain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang sangat diperlukan
untuk memberikan kepasttian bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan
untuk menghasilkan produk pangan dengan mutu yang diharapkan. Sistem ini harus
dibangun diatas dasar yang kokoh untuk
pelaksanaan dan terbitnya GMP (Good
Manufacturing Pratices) dan SSOP (Standart
Sanitation Opening procedure).
Sebagai perusahaan export-oriented, PT. Delta Pasifik
Indotuna Bitung memberikan globally produk
kepada konsumen, berarti dalam proses produksinya bertanggung jawab untuk
menyediakan produk yang berkualitas, maka dalam menjalankan aktifitasnya PT.
Delta Pasifik Indotuna Bitung menerapkan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) yang telah diterapkan pada perusahaan makanan yang ada di dunia.
1.2
Tujuan dan kegunaan
Kajian industri
ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung identifikasi HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Point) pada
proses pengalengan ikan tuna di PT. Delta Pasifik Indotuna Bitung Sulawesi
Utara, dengan melakukan pengamatan dan partisipasi langsung pada perusahaan
tersebut.
Adapun kegunaan dari kajian industri ini
untuk memberikan informasi tentang identifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada
proses pengalengan ikan tuna yang baik dan tepat, dengan demikian diharapkan
bukan hanya menambah pengetahuan tetapi keterampilan mahasiswa dalam pemecahan masalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klasifikasi
dan Morfologi Ikan Tuna
Ikan tuna merupakan ikan
pelagis yang bergerak cepat dan senantiasa membentuk schooling (gerombolan).
Badannya besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya pada pertemuan ekor dan
badan, dan tuna ekor kuning dianggap sebagai proyek hasil laut yang terbaik
dari semua jenis tuna.
Bentuk-bentuk
tubuh beberapa spesies ikan tuna dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Bentuk tubuh
beberapa spesies ikan tuna.
Menurut Saanin
(1984), klasisifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum :
Vertebrata Thunnus
Class :
Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus
alalunga (Albacore)
Thunnus
albacores (Yellowfin)
Thunnus
macoyii (Southtern Bluefin)
Thunnus
obesus (Big eye)
Katsuwonus pelamis (Skip jack)
Secara morfologi tubuh ikan tuna yaitu :
bagian atas punggung berwarna hitam kebiruan mengkilat, dan bagian bawah
berwarna putih perak, sirip punggung pertama sedikit keabuan dengan warna
kuning terpendam, pinggiran atas warna kegelapan, sirip punggung kedua dan
dubur berwarna gelap kekuningan, batas belakang sirip ekor berwarna keputihan.
2.2
Penyebaran Ikan Tuna
Menurut www.atuna.com (2007), ikan tuna termasuk ikan pelagis besar dari
kelompok family scrombridae dengan karakteristik perenang cepat dan hidup
secara bergerombol dengan kondisi badan yang kuat dan kekar, sehingga
penangkapannya menggunakan long line.
Adapun daerah penyebaran ikan tuna
dilaut meliputi perairan : Samudera Indonesia, Samudera Pasifik Tengah, hampir
di seluruh perairan Indonesia terutama di perairan terbuka, termasuk bagian
Barat Sumatera, Selatan Jawa, Timur Sumatera, Laut Natuna, Selat Makasar, Laut
Flores, Laut Sulawesi, dan Perairan Maluku.
Ikan tuna adalah
jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan
tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 -
2,7 g/100 g daging.
Disamping itu
ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A
(retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (http://www.damandiri.or.id/file/epirospiatiipbbab2.pdf).
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g
daging
2.3 Jenis-jenis Ikan Tuna
Jenis-jenis ikan tuna dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Nama Indonesia
|
Nama Dagang
|
Nama Ilmiah
|
Tuna albakora
Tuna abu-abu utara
Tuna abu-abu selatan
Cakalang
Ekor kuning
Tuna mata besar
Tongkol
|
Albacore
Northern bluefin tuna
Southern bluefin tuna
Skip Jack tuna
Yellow Fin tuna
Big eye tuna
Little tuna
|
Thunnus alalunga
Thunnus thynnus
Thunnus maccoyii
Katsuwonus pelamis
Thunnus albacores
Thunnus obesus
Euthynnus affinis
|
Sumber
: Lengkey (1999) dalam Titihalawa,
2001
Dalam pengalengan tuna di PT.
Delta Pasifik Indotuna, terdapat 2 jenis tuna yang diolah untuk diperdagangkan
yakni Yellow Fin Tuna (Thunnus albacores)
dan Skip Jack Tuna (Katsuwonus pelamis).
2.4
Penerapan
HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point)
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan
mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya)
dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat
dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. Kunci utama
HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang
mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pengujian produk
akhir (Winarno dan Surono, 2004).
HACCP dari perkembangannya diakui
dapat memenuhi beberapa tujuan manajemen industri pangan untuk memberikan
jaminan bahwa industri tersebut telah memproduksi produk yang aman setiap saat,
memberikan bukti sistem produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan
rasa percaya diri pada produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan
kepada pelanggan akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi
standar dan regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan
efisien.
Program Per-Requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan sistem
suatu persyaratan dasar penerapan HACCP suatu operasi bisnis pangan untuk
mencegah kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pre-requisite yaitu program harus terdokumentasi, identifikasi dari
semua step dalam operasi yang kritis terhadap keamanan dan mutu pangan,
terapkan prosedur control yang efektif pada pencatatan yang baik dan review
prosedur pengendalian secara periodik dan ketika ada suatu perubahan operasi.
2.5 Langkah Implementasi HACCP
2.5.1 Pembentukan Tim HACCP
Tim HACCP harus memberikan jaminan
bahwa pengetahuan dan keterampilan (keahlian) spesifik produk tertentu tersedia
untuk pembangunan rencana HACCP secara efektif. Pembentukan tim dari berbagai
divisi unit usaha atau disiplin yang mempunyai kekhususan ilmu pengetahuan dan
keahlian yang tepat untuk produk. Apabila keahlian yang demikian tidak tersedia
ditempat, tenaga ahli disarankan dapat diperoleh dari sumber lain.
Persyaratan tim HACCP adalah
bahwa keputusan tim HACCP juga menjadi keputusan manajemen. Untuk tim HACCP
seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari usaha Quality Assurance, produksi,
pemasaran dan lain-lain, dan multidisiplin dengan memperhatikan jenis produk,
teknologi pengolahan, teknik penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara
konsumsi produk, serta potensi bahaya. Tim HACCP juga dapat terdiri atas
beberapa level personil yaitu : General Manajer, Manajer QA, Inspektor, mandor,
dan lain-lain (Winarno dan Surono, 2004).
Tim HACCP harus mempunyai
pengetahuan yang cukup akan produk dan prosesnya serta mempunyai keahlian yang
cukup untuk :
1) Menetapkan lingkup dan
rencana HACCP apakah hanya masalah keamanan pangan atau termasuk mutu
karakteristik produk.
2) Mengidentifikasi bahaya.
3) Menetapkan tingkat keakutan
(severity) dan resikonya.
4) Mengidentifikasi CCP,
merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan batas kritis, prosedur
monitoring, dan verifikasi.
5) Merekomendasikan tindakan
koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan.
6) Merekomendasikan atau
melaksanakan investigasi dan penelitian yang berhubungan dengan rencana HACCP.
2.5.2 Elemen Utama Rencana HACCP
Pengembangan suatu rencana
HACCP terdiri dari 2 (dua) proses yaitu:
a)
Analisa Hazard
Analisa Hazard tidak boleh dilakukan oleh satu orang saja tetapi harus
satu tim HACCP, oleh karena itu perlu dibentuk tim HACCP. Selain dari pada itu
analisa Hazard harus jelas, definisi produk harus jelas, penggunaan produk dan
konsumennya, karakteristik-karateristik negatif yang dikendalikan, dan untuk
melakukan identifikasi hazard harus benar berdasarkan penggunaan akhir suatu
produk dan penentuan hazardnya harus pada setiap CCP (Mangunsong, 1995).
Lebih
lanjut dikatakan, hazard dari setiap hasil perikanan ada 3 (tiga) kelompok, yaitu
hazard yang berkaitan dengan:
1.
Food Safety :
yaitu aspek dari suatu produk yang dapat menimbulkan penyakit atau kematian yang disebabkan melalui kriteria biologis,
kimia atau fisik.
2.
Whole someness :
yaitu karateristik dari suatu produk atau proses yang berhubungan
dengan kontaminasi produk atau sanitasi.
3.
Economic Fraud : yaitu tindakan-tindakan yang
tidak legal atau menyesatkan, tindakan
tersebut termasuk penggunaan bahan
tambahan yang salah, kekurangan timbangan, dan lain-lain.
b)
Pengawasan dan pengendalian pada titik-titik kritis
Dalam rangka pengawasan dan
pengendalian titik kritis terdapat 6 (enam) langkah yang harus dilakukan dalam
pengembangan suatu rencana HACCP yaitu:
1.
Penetapan Tindakan Pencegahan
Tindakan pencagahan adalah beberapa kegiatan atau tindakan
yang akan mencegah terjadinya bahaya pada suatu produk, misalnya pemisahan
bahan baku dan produk akhir, penggunaan air yang memenuhi syarat, penggunaan
bahan kimia yang berizin, kalibrasi timbangan.
2.
Identifikasi CCP
Yaitu penentuan CCP pada tahapan proses pengolahan,
kemungkinan-kemungkinan CCP: penerimaan, perendaman, penyimpanan, pengepakan,
dan lain-lain. Untuk mengidentifikasi CCP biasanya dapat menggunakan rumus
Decision Tree.
3.
Penetapan Batas Kritis
Yaitu suatu titik yang telah ditentukan yang tidak boleh
dilampaui jika suatu hazard harus dikendalikan pada suatu CCP. Kriteria yang
sering digunakan untuk batas kritis yaitu: suhu, bahan pengawet, kandungan air,
pH, kadar chloor, kadar garam, berat tuntas, isi dalam kemasan.
4.
Penentuan Prosedur Pemantaun
Yaitu suatu tindakan pengukuran atau pemantauan yang tetap
dicatat oleh perusahaan untuk pelaporan temuan-temuan pada setiap CCP. Kegiatan
ini memerlukan tindakan manajemen dan harus jelas siapa, dimana, kenapa,
bagaimana, dan kapan.
5.
Penetuan Tindakan koreksi
Yaitu prosedur yang harus dilakukan ketika suatu
penyimpanan serius atau kritikal ditemukan atau ketika suatu batas kritis
dilampaui. Pada umumnya tindakan koreksi bisa meliputi : hasil pemantauan,
kesulitan jangka pendek, penentuan penyebab, melakukan perbaikan.
6.
Penentuan Sistem Pencatatan
Unit pengolahan harus menetapkansiistem pencatatan dan
harus memasukan semua catatan per CCP, karena catatan itu berfungsi untuk
memudahkan pemeriksaan control proses, memudahkan pemeriksaan sanitasi, dokumen
batas-batas kritis yang dipenuhi, dokumen tindakan koreksi, menawarkan
kemampuan, melacak produk, menyediakan informasi terakhir.
2.6 Prinsip-prinsip
HACCP
HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang dilakukan untuk
mengidentifikasi bahaya tertentu dan tindakan pencegahan yang perlu dilakukan
untuk pengendaliannya. Sistem ini terdiri dari 7 prinsip:
1)
Analisa bahaya (hazard),
identifikasi, dan tindakan pencegahan
Hazard adalah suatu kondisi
atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun fisika, yang dapat menyebabkan
makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau merugikan konsumen. Proses
identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu proses atau produk yang
meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan ekonomi.
2)
Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)
CP (Control Point) adalah
suatu titik, tahap atau prosedur dimana faktor-faktor biologis, kimiawi, maupun
fisikawi dapat dikendalikan. CCP (Critical Control Point) adalah suatu titik,
tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat ditetapkan dan bahaya dapat
dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai batas yang diterima. Selain itu juga
CCP adalah titik kritis dimana bila
gagal melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan
resiko penolakan terhadap konsumen.
3)
Penetapan batas-batas kritis (Critical Limit)
Batas kritis adalah suatu
kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan pencegahan pada suatu CCP.
Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas kritisnya. Batas-batas kritis
tersebut meliputi: persyaratan teknis/administrasi, definisi batasan penolakan,
toleransi atas persyaratan penolakan.
4)
Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah tindakan
yang terencana dan berurut dari suatu observasi atau pengukuran untuk
mengetahui apakah CCP berada dalam control, dan untuk menghasilkan catatan yang
akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan pemantauan adalah untuk menelusuri
operasi dari suatu proses, untuk mengetahui apakah suatu proses harus
dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP,
untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem pengendalian proses.
5)
Penetapan tindakan koreksi (Corective action)
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika
suatu penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan
penetapan tindakan koreksi adlah untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab
penyimpangan dan mengembalikan kontrol proses, untuk mengidentifikasi produk
yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan disposisinya.
6)
Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)
Catatan yang harus disimpan
sebagai bagian dalamm sistem HACCP. Semua yang dipantau harus dicatat, semua
tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih sistematis pencatatan dilakukan
menggunakan formulir yang distandarkan, pedoman dalam membuat formulir yaitu
memuat tentang semua informasi yang
dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan
seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan
pencatatan, dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan
dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah
dapat dievaluasi.
7)
Penetapan prosedur verifikasi
Verifikasi adalah penerapan
dari suatu metode, prosedur, pengujian dan audit sebagai tambahan kegiatan
pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan kesesuaian dengan “Rancangan
HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk menjamin dan memastikan bahwa program HACCP
berjalan di dalam jalur yang tepat dan dilakukan dengan baik, dapat dilakukan
secara internaldan eksternal. Secara internal oleh pihak manajemen perusahaan
sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai pendukung),
secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin.
BAB III
METODOLOGI
PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Praktek
Kajian Industri berlangsung selama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal 11
Juli - 14 Juli 2011, di PT. Delta Pasifik Indotuna, Jalan Veteran, Kecamatan
Bitung Tengah, Kota Bitung, Propinsi Sulawesi Utara.
3.2 Jenis dan Sumber
Data
Untuk
memperoleh data yang akurat dan valid, jenis dan sumber data dalam Praktek
Kajian Industri ini adalah:
Ø Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara
dengan pimpinan/karyawan perusahaan dan observasi/pengamatan langsung dalam
kegiatan pengalengan ikan tuna di PT. Delta Pasifik Indotuna.
Ø Data sekunder, yaitu dengan melakukan pengumpulan data
yang sesuai dengan obyek praktek melalui referensi studi kepustakaan, dokumen
dari perusahaan dan instansi terkait.
3.3 Teknik
Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam praktek adalah metode deskriptif
yang didukung oleh teknik pengumpulan data melalui:
Ø
Observasi
Hal ini
dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang obyek praktek.
Ø
Wawancara
Teknik
ini dilakukan dengan cara mewawancarai pimpinan/karyawan perusahaan sehubungan
dengan obyek praktek.
3.4 Analisis
data
Teknik analisa data yang digunakan dalam praktek
adalah metode deskriptif, yaitu dengan cara mendeskripsikan terutama untuk data
kualitatif tentang keadaan perusahaan serta kegiatan pengalengan ikan tuna di
perusahaan tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
masalah yang diamati dan kemudian melakukan analisa terhadap hasil pengamatan.
Sedangkan untuk data kuantitatif di analisa melalui proses editing dan
tabulasi.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan
Umum Perusahaan
4.1.1 Latar Belakang
dan Tujuan Pendirian Perusahaan
Tersediannya potensi perikanan yang cukup besar di bagian timur Indonesia,
khususnya di daerah perairan Sulawesi Utara, adanya sarana dan prasarana
penunjang antara lain berupa pelabuhan laut dan pabrik pengalengan serta
tersedianya tenaga kerja yang memadai di daerah Bitung merupakan faktor
pertimbangan yang melatar belakangi didirikannya pabrik pengalengan ikan tuna,
PT. Delta Pasifik Indotuna di daerah Bitung. Disamping itu untuk lebih
mengoptimalkan potensi sumberdaya ikan tuna diperairan Sulawesi Utara.
Adapun tujuan pendirian perusahaan disamping untuk mendapatkan nilai tambah
secara ekonomi (keuntungan) dan kesehatan (pemenuhan protein asal ikan) dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya perairan secara umum. Tujuan lainnya adalah
untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat kota Bitung khususnya serta
masyarakat Sulawesi Utara dan daerah lainnya pada umumnya.
4.1.2 Sejarah
dan Gambaran Umum Perusahaan
PT. Delta Pasifik Indotuna didirikan oleh dua orang
bersaudara yaitu Faizal Bawazier dan Khalid Bawazier. Perusahaan ini didirikan
pada bulan Mei 2005 dan mulai beroperasi pada tanggal 4 Januari 2007. Pendirian
perusahaan ini didasarkan pada Akte Notaris No.C-00797 HT.01.01.2006 tentang
Pengesahan PT.Delta Pasifik Indotuna Bitung Sulawesi Utara.
PT. Delta Pasifik Indotuna Bitung melakukan hubungan
kerja dengan perusahaan-perusahaan lain yaitu: perusahaan pengalengan di Yaman,
Eka Timur Raya, Tepung Ikan di Surabaya dan perusahaan Sarung Cap Tangan di
Jakarta. PT. Delta Pasifik Indotuna mempekerjakan 600 orang karyawan, yaitu
terdiri atas 540 karyawan harian dan 60 orang karyawan tetap (bulanan).
Produk utama yang dihasilkan adalah ikan tuna kaleng dan
di pasarkan ke negara Timur Tengah (Yaman, Syiria, Yordania, Kuwait, Dubai, Uni
Emirat Arab, Meksiko, Kroasia, Thailand, dan Afrika Selatan). Pada saat sekarang PT. Delta Pasifik Indotuna
sedang bekerja sama dengan negara Amerika Serikat.
4.1.3 Interaksi
Perusahaan dengan Lingkungan
Berdirinya suatu
perusahaan pada suatu daerah dengan sendirinya akan menimbulkan pengaruh timbal
balik (interaksi yang umumnya bersifat sosial ekonomi antara perusahaan
tersebut dengan lingkungannya. Lingkungan perusahaan terdiri atas pemerintah
setempat, masyarakat, dan alam sekitarnya. Adapun dampak dari interaksi
tersebut dapat berwujud positif maupun negatif.
4.1.4 Kepegawaian
dan Struktur Organisasi
PT. Delta Pasifik Indotuna mengelompokkan tenaga kerja
menjadi dua golongan, yaitu tenaga kerja tetap (bulanan) dan tenaga kerja lepas
(harian). Tenaga kerja bulanan adalah tenaga kerja yang besaran gajinya telah
ditetapkan perbulan dan pembayarannya dilakukan sekali sebulan. Tenaga kerja
lepas adalah tenaga kerja yang besaran gajinya ditentukan per hari (berdasarkan
jam kerja normal, 8 jam/hari), yaitu sebesar Rp. 3.500,- untuk shift siang dan
Rp.4.000,- untuk shift malam.
Pengaturan jam kerja pada bagian administrasi dan
keuangan serta untuk jabatan manajer, yaitu dari jam 08.00-17.00 dengan hari
kerja dari senin-jumat (non-shift), 9 jam kerja/hari termasuk jam
istirahat.
Baik tenaga kerja tetap maupun tenaga kerja lepas
mendapatkan tunjangan makan dari perusahaan dalam bentuk disediakan kantin,
fasilitas dan tunjangan lain juga disediakan oleh perusahaan berupa tunjangan
transportasi, THR,asuransi tenaga kerja (ASTEK) bagi tenaga kerja tetap,
klinik, mushollah, dan toilet.
4.2
Identifikasi HACCP Dalam Proses Pengalengan Ikan Tuna
4.2.1 Personil (pekerja)
Dalam proses
pengalengan ikan aspek-aspek yang membutuhkan perhatian dan pertimbangan utama
adalah personil (pekerja) baik itu kesehatan maupun kebersihan pribadi atau
perorangan. Hal ini dikarenakan bahaya yang akan ditimbulkan. Bahaya dalam
bentuk fisik seperti adanya rambut, kuku, atau asesoris (cincin, anting,dan
lain-lain) yang terjadi pada proses produksi. Selain itu juga bahaya potensial
adanya bau tengik yang mungkin disebabkan oleh pekerja yang menggunakan lotion
atau cream tangan, dan kontaminasi
karena pekerja yang menderita penyakit menular, luka, infeksi, dan lain-lain
yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri patogen.
4.2.2 Pengolahan material (Produk)
1.
Fish Receiving
(Penerimaan Ikan)
Bahan baku yang
digunakan di PT. Delta Pasifik Indotuna meliputi bahan baku dalam bentuk segar
dan beku yang berasal dari daerah tersebut dan beberapa daerah di Sulawesi
(kendari, gorontalo,dan lain-lain). Ikan yang baru masuk langsung dilakukan
penyortiran berdasarkan ukuran (size) dan tingkat kesegaraannya.
Dari setiap proses
penanganan penerimaan bahan baku adalah tahap pertama dari setiap proses. Hal ini yang menentukan
apakah proses selanjutnya akan dilanjutkan atau tidak dan itu tergantung dari
proses penerimaan bahan baku tersebut. Kaitannya dengan identifikasi hazard
(bahaya) pada proses atau tahapan ini
adalah bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya pasir/kerikil yang merupakan
salah satu bahaya potensial pada proses ini. Penyebab bahaya adalah terjadi
pada saat proses pengangkutan bahan baku atau dihasilkan dari sepatu para
pekerja sementara bahaya potensial kemungkinan tidak terjadi. Selain itu juga
bahaya potensial adalah adanya bau tengik (bahaya kimia) kemungkinan yang
disebabkan oleh bahan baku yang terkontaminasi mikroba (bahaya biologis) yang
berasal dari luar atau bahan lain. Cara mengurai bahaya tersebut adalah dengan
memperhatikan kebersihan baik itu pekerja, bahan baku, maupun alat-alat yang
digunakan pada saat proses produksi sebaiknya harus dalam keadaan steril.
2.
Thawing (Pelelehan Ikan)
Ikan beku dilelehkan
sebelum diproses lebih lanjut. Pelehan ikan dilakukan didalam bin dengan cara mengalirkan air kedalam bin secara kontinyu (merendam ikan dalam
air yang mengalir) hingga suhu ikan naik dari -20c menjadi 50c.
Tahapan ini adalah
merupakan proses pelelehan ikan, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses
selanjutnya dalam hal butchering. Di
dalam tahapan ini bahaya fisik merupakan salah satu bahaya potensial yang
disebabkan pada penerimaan bahan baku
yang kurang hati-hati sehingga merusak tekstur bahan baku tersebut, dan
juga suhu pada saat di dalam cold storage, sehingga dapat memicu pertumbuhan
bakteri patogen. Adapun cara mengatasi potensi bahaya tersebut adalah dengan
memperhatikan pada proses penerimaan bahan baku dan suhu pada saat di dalam cold storage.
3.
Butchering (Penyiangan/Pembersihan Isi Perut)
Butchering
dilakukan
baik terhadap ikan segar maupun terhadap ikan beku yang telah dilelehkan.
Kegiatan ini meliputi penyiangan ikan dengan mengeluarkan isi perut, sedangkan
ikan yang berukuran besar juga dilakukan pembelahan.
Bahaya potensial pada
proses ini adalah bahan baku yang terkontaminasi dengan karatan atau
sejenisnya, hal ini disebabkan oleh penggunaan alat yang digunakan kurang
steril dan air yang digunakan untuk membersihkan ikan dan alat-alat yang
digunakan sudah tercemar. Selain itu pertumbuhan bakteri patogen dikarenakan
oleh suhu ikan sudah mengalami perubahan karena terjadinya over thawing. Cara mengatasi semua bahaya-bahaya tersebut adalah
dengan cara memastikan alat-alat yang digunakan sudah bersih dan proses
pengolahannya sendiri sebaiknya dilakukan segera mungkin.
4.
Pencucian
Ikan yang telah di butchering kemudian dicuci dengan menggunakan
air bersih. Bahaya potensial pada proses
ini adalah air, alat, ruang kerja yang digunakan sudah tercemar. Dan masih
adanya sisa-sisa penyiangan yang bisa menimbulkan pertumbuhan bakteri. Cara
mengatasinya adalah memperhatikan kebersihan semua alat, air, dan lainnya juga
sisa-sisa penyiangan harus segera dipindahkan agar menghindari pertumbuhan
bakteri.
5.
Pilling
(penyusunan)
Ikan yang telah di cuci selanjutnya disusun pada baki
pemasakan (pan) berdasarkan ukuran
dan jenisnya untuk memberikan dampak pemasakan yang seragam. Bahaya potensial
yang ada yaitu kontaminasi bahan baku dengan alat yang digunakan. Cara
mengatasinya dengan memperhatikan alat yang digunakan pada proses pengolahan.
6.
Pemasakan
awal (pre-cooking)
Pemasakan awal
menggunakan bejana uap (steam)
tertutup yang disebut precooker. Pemasakan
awal dimulai setelah precooker terisi
secara optimal. Suhu pemasakan dalam bejana dipertahankan tidak melebihi 1000c,
sedangkan lama pemasakannya disesuaikan dengan ukuran ikan.
Pada tahapan ini pertumbuhan
bakteri merupakan bahaya yang potensial, penyebabnya sisa-sisa darah, minyak
dan cairan tubuh pada ikan masih tersisa pada proses butchering dan pemasakan.
Selain itu bahaya dalam bentuk fisik dapat terjadi dikarenakan suhu, waktu, dan
size yang digunakan pada proses pemasakan tidak sesuai sehingga dapat merusak
tekstur produk.
7.
Colling (Pendinginan)
Ikan yang telah di
masak (di-precooking) terlebih dahulu
di dinginkan dengan menggunakan semprotan air berkabut, menggunakan alat yang
disebut mist-sprayer. Hal ini
bertujuan untuk menutup pori-pori ikan agar proses dehidrasi dapat dihindari
sehingga berat ikan tidak banyak berkurang, disamping mempercepat pendinginan
ikan agar efek pemasakan tidak berkelanjutan sehingga permukaan ikan tidak gosong
dan kulit ikan mudah di keluarkan. Kemudian ikan yang telah disemprot dengan
air dipindahkan ke cooling area.
Bahaya potensial yang
ada pada proses ini adalah pada tahap setelah proses cooling dimana suhu yang digunakan tidak boleh lewat
dari 430c dan waktu tidak boleh melebihi 4 jam, karena akan
menimbulkan kerusakan fisik pada produk. Selain itu bahaya terkontaminasi dapat
terjadi yang disebabkan air yang digunakan pada proses penyiraman atau
pengkabutan telah tercemar. Untuk mengatasi bahaya tersebut harus memperhatikan
suhu dan waktu pada saat proses tersebut.
8.
Beheading,
Skinning, loinning (Pemotongan Kepala, kulit, pengeluaran tulang)
Pada tahap beheading yaitu mengeluarkan bagian
kepala ikan termasuk insang, sirip, ekor. Kemudian ikan yang telah dibersihkan
dikumpulkan pada baki plastik dan dibawa kebagian skinning.
Ikan yang diterima
dari bagian beheading kemudian
dilakukan proses skinning (pengeluaran
kulit). Kulit ikan dikeluarkan dengan menggunakan pisau dari arah kepala
menuju ke ekor sedangkan pada bagian
perut ikan, kulit dikeluarkan dari arah ekor menuju ke kepala mengikuti alur
/serat daging ikan tersebut.
Setelah kulit ikan
dikeluarkan, selanjutnya dilakukan proses loinning
dengan mengeluarkan tulang dan daging merah ikan. Tulang belakang ikan
dikeluarkan dengan membelah ikan menjadi dua bagian, selanjutnya tiap bagian
dibelah lagi menjadi dua bagian sehingga diperoleh 4 buah bagian (loin) untuk setiap ikan. Selanjutnya
ikan yang telah bersih disusun pada baki plastik kemudian ditimbang lalu dibawa
ke bagian pengepakan.
Bahaya potensial pada
tahapan ini adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh pekerja dan alat
yang digunakan kurang steril sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroba .
adapun untuk mengatasi bahaya tersebut adalah dengan lebih memperhatikan
kebersihan dari semua personil baik itu pekerja maupun alat dan produk yang
telah rusak pada saat proses pengolahan sebaiknya diperhatikan lebih ketat agar
tidak terikut kedalam produk yang memiliki mutu yang baik.
7.
Pencucian Kaleng Kosong
Kaleng yang akan
digunakan terlebih dahulu dibersihkan sebelum diisi loin. Kaleng yang telah disortir selanjutnya diletakkan pada meja
berputar (can feeding table) untuk
dibawa ke mesin pack saper dengan menggunakan elevator . pembersihan kaleng dilakukan dengan menggunakan
semprotan steam pada ujung elevator, menjelang tiba dimesin pack saper.
Pada tahapan ini
bahaya dalam bentuk fisik adalah merupakan bahaya yang potensial. Penyebabnya
karena masih adanya tulang dan daging gelap atau cokelat pada saat proses
sebelumnya. Selain itu bahaya kontaminasi juga dikarenakan alat yang digunakan
berkarat atau tercemar bahan lain. Cara mengatasinya dengan memperhatikan kebersihan
semua alat dan cara pengolahan produk.
8.
Packing (Pengisian Daging Ikan), penimbangan, Filling Medium (Pengisian medium)
Ikan yang akan
dikalengkan disusun pada feeding conveyor
mesin pack shaper. Penyusunan
ikan pada alat tersebut disesuaikan dengan produk (model pengepakan) yang akan
dibuat yaitu dibedakan atas chunk (potongan/ukuran
daging ikan yang sedang) dan flakes/filler
(serpihan daging ikan yang halus).
Setelah kaleng
diisi dengan ikan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui apakah jumlah ikan
yang diisikan kedalam kaleng telah sesuai dengan standar.
Pada proses Filling Medium dilakukan pemasukkan
cairan (medium) yang digunakan sesuai dengan pesanan pembeli (buyer) pada PT.Delta medium yang digunakan
adalah sun flower seed oil. Canola oil,
dan brine.
Bahaya adanya
dalam bentuk fisik (tulang, bahan pengotor lain), bahaya kimia (kontaminasi
logam Cu dan Fe dari kaleng), bahaya biologis (cemaran salmonella), selain itu
kepadatan dan kekurangan berat timbangan merupakan bahaya potensial yang
terdapat pada tahapan ini.
9.
Seaming (penutupan kaleng), can washing (pencucian kaleng)
Kaleng yang telah
diisi dengan ikan dan medium selanjutnya ditutup dengan menggunakan mesin
penutup kaleng (seamer). Setelah itu
dilakukan pengkodean nama perusahaan, dan waktu (tanggal, bulan, dan tahun)
pengolahan. Pada proses selanjutnya dilakukan pencucian kaleng untuk
menghilangkan kotoran atau bahan-bahan yang masih terdapat pada permukaan
kaleng.
Tahapan ini bahaya
potensial adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh benda-benda asing yang
masuk dalam kaleng yang berasal dari luar atau dari dalam benda tersebut,
bahaya biologis (kontaminasi mikroba) karena suhu yang tidak sesuai, Selain itu
bahaya dalam bentuk fisik kaleng seperti adanya kaleng yang rusak karena
tekanan dari dalam.
10.
Sterilisasi/retorting
Ikan kaleng
yang telah dicuci selanjutnya disusun pada basket (keranjang) retort, sebelum basket dimasukkan
kedalam retort (pengoperasian)
dimulai.
Untuk proses
ini bahaya yang ada adalah bahaya kimia karena cemaran logam dari kaleng,
bahaya biologis dari kontaminasi bakteri dan mikroba karena penggunaan suhu
yang tidak sesuai pada saat proses pemanasan, selain itu bahaya fisik (daging
ikan rusak) karena suhu pemanasan yang tidak sesuai.
11.
Pendinginan
Kaleng
Ikan yang telah
dikeluarkan dari retort selanjutnya
didinginkan secara alamiah (menggunakan udara dengan suhu ruang), hanya dibantu
dengan kipas agar terjadi sirkulasi udara didalam ruang tersebut sehingga
mempercepat proses pendinginan. Waktu pendinginan yang dibutuhkan adalah 4 jam
untuk pack in brine dan 5 jam untuk pack in oil.
Bahaya yang ada
adalah bahaya biologis (tercemar bakteri thermofilik) pada saat didinginkan
setelah sterilisasi, selain itu bahaya fisik (perubahan rasa, warna, dan
tekstur daging) karena over cooking dan over processing.
12.
Pengartonan
(Case Up)
Kaleng yang
sudah dingin selanjutnya dibersihkan dari sisa-sisa air dengan menggunakan kain
lap yang bersih dan dibawa keruang case
up (pengartonan). Setiap karton masing-masing berisi 48 kaleng.
Dalam tahapan
ini bahaya potensial adalah kerusakan karton yang digunakan sebagai kemasan.
13.
Pelabelan
Produk yang akan
dilabel ditempatkan didekat mesin label yang sebelumnya telah disiapkan,
kemudian proses pelabelan dilakukan
Pada tahapan ini
bahaya potensial adalah kesalahan pelabelan yang dicantumkan.
14.
Penyimpanan
Produk yang telah
dilabel dan disusun dalam dos sementara menunggu waktu pengiriman/ekspor
disimpan digudang yang bersebelahan dengan ruang pelabelan.
Bahaya potensial
dalam tahap ini adalah adanya
kontaminasi pada kaleng baik itu minyak, abu, kotoran, dan kesalahan
penghitungan hari antara produksi dan waktu pengiriman.
15.
Pemasaran
Pemasaran produk ikan
kaleng PT.Delta Pasifik Indotuna dipasarkan ke manca negara terutama ke negara
Timur Tengah.
Dalam proses ini bahaya
dalam bentuk fisik seperti adanya kaleng rusak, kembung, berkarat, kotor, dan
kontaminasi bakteri, selain itu kesalahan pada pencantuman logo, nama produk,
tanggal kadaluarsa, dan lain-lain yang terdapat pada tahap ini.
Secara garis besar skema alur proses pengalengan
ikan yang diterapkan di PT. Delta Pasifik Indotuna dapat dilihat pada gambar 2
dbawah ini:
Gambar 2. Skema alur
proses pengalengan
(Sumber : PT. Delta
Pasifik Indotuna, 2011)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
di atas dapat di tarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyebab
bahaya dari setiap tahapan adalah adanya bahaya dalam kerusakan fisik, baik itu
dari bahan baku maupun dari kaleng.
2. bahan
baku yang terkontaminasi oleh alat, air, dan pekerja yang kurang bersih dan
steril.
3. Bahaya
kimia dan biologis dengan terkontaminasi/tercemar oleh bakteri dan mikroba
karena alat, suhu, waktu, dan proses yang kurang baik sehingga memicu
pertumbuhan bakteri ini.
4. Bahaya
kesalahan penimbangan, penulisan kode, tanggal/bulan/tahun produksi, dan
lain-lain.
5. Bahaya
penyimpanan produk yang terkontaminasi panas, dingin, debu, kotoran, dan
benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan pada produk.
5.2 Saran
Ada beberapa hal yang
menjadi saran dalam setiap proses pengolahanadalah bahaya dari setiap proses
terutama penggunaan suhu sesuai dengan mata rantai, hal ini dapat menimbulkan
pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen. Selain itu konsep Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) perlu diterapkan.
Hallo, Qt Farel (salam kenal nhe), qt baru klar PKL di Delta lagi ini may, 2012 baru" ini...
BalasHapusQt mow tnya dank klo nn ada Struktur Organisasi prusahaan ini? (Qt so lupa mnta, kong so pulang k mnado ini.. || tp lporan sisa itu Struktur noh.. ^_^
Minta tolong nhe klo ada kse kbar pa qt p FB : Arfandi Farel Lmt
Thankz.